Friday, August 10, 2018

Ngomongin Film : CALL ME BY YOUR NAME (part 1)


Perhatian! Bukan untuk dikonsumsi kaum Anti-LGBT garis keras!


Hay gaes! Di postingan kali ini aku mau semacam me-review *lebih tepatnya nyepoiler* salah satu film bergenre drama terbaik tahun 2017 kemarin. Aku gak terlalu suka nonton film sih aselinya, jadi aku gak update tentang film. Film ini aku tau karena berawal dari ketidaksengajaan nemu foto aktor utamanya pas aku lagi main ke Pinterest.

Army itu ya, walaupun cuma keliatan hidungnya aja udah ketauan ganteng. Kalau si Timmy, keliatan lubang hidungnya emang udah ganteng. *eh!


“Call Me by Your Name”, melihat judulnya aku cukup tertarik, ditambah foto 2 cowo ganteng sebagai poster filmnya membuat aku berpikir bahwa ini film tentang romansa sesama sejenis. Fix!! Gak ada alasan lagi buat aku gak nonton film ini. Walaupun musti via download nontonnya XD

Banyak hal yang menarik perhatianku di film ini. Selain karena pesona Timothee Chalamet, film ini berlatar tempat di Itali, tahun 1983, dan… unsur homo-homoan menjadi daya tarik paling kuat bagi aku. Akakakak…

Diadaptasi dari novel karya Andre Aciman tahun 2007 dengan judul yang sama, film Call Me by Your Name  yang disutradarai Luca Guadagnino ini menceritakan kisah percintaan antara Elio Perlman (Timothee Chalamet) seorang anak berusia 17 tahun dengan Oliver (Armie Hammer) mahasiswa berusia 24 tahun. Ini bukan cuma soal percintaan sesama jenis, tapi hetero juga, karena Elio juga berhubungan sama pacarnya, Marzia (walaupun mereka akhirnya putus), terus unsur kekeluargaannya juga kentel. Jadi ini semacam pengalaman seksualitas (atau pencarian?) seorang remaja berusia belasan tahun.

Italy, 1983. Ceritanya, waktu itu lagi liburan musim panas. Ayahnya Elio, Mr. Perlman yang seorang professor arkeologi, mengundang salah satu mahasiswanya dari Amerika, Oliver, buat menginap di tempat tinggalnya selama liburan buat bantuin ayahnya Elio. Oliver menempati kamar yang sebelahan sama kamarnya Elio. Selama liburan, Elio menghabiskan lebih banyak waktunya buat main musik sama baca buku. Sesekali main sama pacarnya, cewek, namanya Marzia.

Dalam cerita itu, Oliver emang sosok yang menarik. Setiap orang bisa suka sama dia. Udah ganteng, body-nya perfect, jenius, periang, gampang gaul. Awalnya Elio memandang Oliver sebagai sosok yang arogan, tapi lama-lama akhirnya demen juga. Mungkin karena mereka keseringan menghabiskan waktu berdua, dan Elio pasti gak bisa menolak kesempurnaan Oliver. Aaaaakkkk~ OLIVEEEERRRRR!!! *authornya mabok*

Suatu ketika, Oliver pergi ke kantor pos sama Elio. Saat itu juga Elio mengatakan tentang perasaannya, tapi Oliver bilang seharusnya dia gak begitu.  “We just can’t”. Abis dari kantor pos mereka istirahat sebentar di bawah pohon, di rerumputan, dan di sana mereka melakukan ciuman pertamanya. Si Elionya kayak yang ngebet banget, tapi Oliver gak mau itu berlangsung lebih jauh. Mereka lalu pulang, terus makan siang sama keluarga. Di tengah makan siang itu, tau-tau Elio mimisan, terus dia meninggalkan meja makan, nyari es batu, terus duduk di pojokan. Oliver yang tau hal itu jadi ngerasa gak enak. Takutnya Elio jadi gimana gitu gara-gara minta lanjut cipokan tapi Olivernya nolak. Wkwkwk…

Singkat cerita, hubungan Elio sama Oliver jadi makin intim. Di suatu malam mereka melakukan hubungan seksual (dalam film enggak vulgar sih kalau menurutku, soalnya yang di-shoot cuma jendela kamar sama pohon). Di hubungan intim pertama mereka, (ini quote paling ikonik dalam film), Oliver bilang… “Call me by your name, and I’ll call you by mine”. Well, itu manis banget!! Lalu mereka saling memanggil satu sama lain dengan nama masing-masing. Kealayan yang manis, ya kan?

A boy fucks a peach. Di dalam novel, salah satu bagian paling mengesankan itu waktu Elio masturbasi (atau bahasa kerennya swasenggama) menggunakan buah peach. Buah peach ini memang semacam ‘trademark’-nya Call Me by Your Name. Tadinya, sang sutradara mau ngilangin bagian ini dari film, tapi kayaknya gak mungkin banget, cuman kalau difilm-in apa gak aneh gitu pikirnya? Dari interview yang pernah aku baca, Luca Guadagnino sebelum bikin film ini pernah nyoba sendiri swasenggama pakai peach, dan Luca bilang “it works!!”. Aktor utamanya, si Timmy, juga nyobain, dan berhasil. Wkwkwkwk… itu aneh, swasenggama pakai buah peach, tapi mereka berhasil. Dan akhirnya Luca memutuskan buat memasukkan bagian cerita itu ke film. Aku juga pas pertama baca plotnya ngerasa aneh gitu, emang bisa ya? Gimana caranya? Terus pas liat filmnya, wah anjir!! XD

Terus, setelah Elio swasenggama pakai peach dan klimaks, dia ketiduran. Oliver datang nyamperin terus dia tau si Elio abis ngapain. Oliver tadinya mau makan buah peach yang udah ‘terkontaminasi’ milik Elio, tapi sama Elionya gak boleh, terus Elio nangis. Besoknya Oliver mau balik ke Amerika, dan Elio gak mau Oliver pergi. Mungkin kalau buah itu beneran dimakan sama Oliver, Elio ngerasa lebih susah ngelepas Oliver karena bagian dari dirinya menjadi milik Oliver. Wah!

Orang tua Elio termasuk orang tua yang terbuka. Mereka tau hubungan Elio sama Oliver, tapi mereka gak ngelarang Elio. Justru, mereka pingin buat Elio seneng. Sebelum Oliver benar-benar pulang ke Amerika, orang tua Elio nyuruh Elio buat menghabiskan waktu selama 3 hari bersama Oliver di Roma.
Ini budaya Itali yang berbeda dengan budaya Amerika. Lewat film ini Luca mau ngasih tau bahwa orang tua di Itali itu lebih terbuka sama hal-hal yang dianggap tabu di Amerika semacam LGBT.
Di cerita itu kejadiannya tahun 1983. Kalau di tempat kita mah LGBT masih banyak yang musuhin ya, padahal ini udah tahun 2018.

Tibalah waktunya, Oliver harus pulang ke Amerika. Oliver dan Elio gak mengucapkan satu kata perpisahan pun. Mereka cuma pelukan. Speechless, tapi emosinya berasa. Sedih bet aku tu nonton scene ini. Abis itu Elio nelpon emaknya sambil nangis, minta dijemput. Di perjalanan pulang pun Elio masih nangis. Pas udah nyampe, Elio ketemu sama Marzia. Mereka udah putus sih, tapi hubungannya tetep baik, mereka jadi teman biasa sekarang. Film ini gak ada tokoh antagonisnya gaes, yang udah jadi mantan pun masih tetap berteman baik.

Next, ada scene paling menyentuh sebelum ending. Scene di mana ayahnya Elio, ngajak ngobrol Elio soal perasaannya setelah berpisah sama Oliver. Scene ini menyentuh banget, ayahnya Elio itu bijak, dialognya di film sempat jadi viral (seenggaknya di negara luar sana). Selain kata-katanya, cara penyampaiannya juga ngena banget. Bener-bener adem. Mr.Perlman gak menyudutkan anaknya karena menyukai sesama jenis, karena yang namanya perasaan itu alami. Menurut ayahnya, si Elio itu beruntung bisa merasakan pengalaman seperti itu. Setelah berpisah dari Oliver, Elio merasakan sedih, sakit hati, yaudah biarin aja, gak usah dilawan perasaan itu. Gitu katanya. Terus ayahnya juga bilang kalau beliau malah ngerasa iri sama pengalaman Elio yang gak semua orang bisa ngerasainnya.

Beberapa bulan kemudian, di musim dingin, waktu perayaan Hanukkah (perayaan di kepercayaan Yahudi tiap bulan Desember), Elio dapet telepon dari Oliver. Elio bahagia banget bisa denger suara Oliver lagi. Sayangnya kebahagiaan itu datang bersama kesedihan. Oliver memberi kabar bahwa sebentar lagi dia akan menikah, sama perempuan pilihannya setelah 2 tahun mereka berpisah. Orang tua Elio ikut bahagia denger kabar itu, walaupun ikutan sedih juga karena anak sematawayangnya pasti sakit hati. Cuman ya udah kan, mau gimana lagi?
Sebelum scene telponan itu berakhir, Elio kembali mengulang kealayan manisnya sama Oliver, saling memanggil dengan nama masing-masing. Walaupun awalnya Oliver cuma diem aja, tapi Elio terus memanggil Oliver dengan namanya sendiri, sampai Oliver membalas panggilannya dan bilang… “I remember everything”.
Abis telponan, Elio duduk depan perapian, nangis sampai pilemnya kelar.

Well, ini closing yang manis dan penuh emosi. Selama beberapa menit, kita cuma disuguhi wajah ganteng Elio dengan air mata dan ekspresi yang menyiratkan berbagai emosi. Sedih-sedih gak rela tapi gimanaaa ya. Tapi seperti yang ayahnya bilang, Elio harus bisa terima kenyataan.
Ngeliat ekspresi Elio sambil inget-inget momen kebersamaannya sama Oliver dan meresapi ceritanya aku jadi kebawa perasaan. Ditambah lagunya Sufjan Stevens berjudul Visions of Gideon yang jadi backsong buat ending filmnya. Itu lagunya ngiris-ngiris. Lirik lagunya ‘Elio banget’ XD
Wkwkwk… btw aku jadi penasaran juga sama soundtrack film ini yang dibawain Sufjan Stevens.
Dan… oh iya, closingnya cukup unik, dengan judul film yang baru nongol di ending. Terus sepanjang Elio nangis depan perapian, di belakangnya terlihat sang ibu dan asistennya sedang sibuk mempersiapkan makan malam. Ada satu hal yang dari awal cukup menimbulkan pertanyaan. Lalat!! Kemunculan lalat di beberapa scene film ini seperti menjadi sebuah simbol dalam cerita. Mulai dari Elio yang bangun pagi terus ngelamun, Elio yang pura-pura baca buku waktu Mavalda masuk ke kamar Elio, scene di mana Elio dan Oliver melakukan ciuman pertamanya di bawah pohon, terus muncul lagi di bagian apa ya? Lupa. Dan terakhir, si lalat masih eksis nampang di ending. Entah gimana caranya si lalat bisa diajak main film, bisa dengan antengnya nemplok di baju Elio selama beberapa menit. Oh iya, dan gara-gara itu, aku jadi nyari tau fakta tentang lalat. Tapi beneran, ini ada hubungannya sama film. Hubungannya apa? Next post ya! XD

What a great movie!
Ternyata gak sehomo yang aku bayangkan. Walaupun ada adegan hubungan intimnya, tapi Luca membuatnya terlihat elegan dan gak jorok. Malahan yang keliatan vulrgar tuh waktu scene Elio sama Marzia (entah kenapa, apa mentang-mentang sama cewek gitu ya jadi lebih keliatan beneran? –bias gender-). Jadi ini gak 100% gay, tapi biseksual juga. Terus unsur kekeluargaannya juga berasa benget, makanya Luca sempat bilang kalau film ini juga bisa dibilang film keluarga. Beeeh~ keren banget pokoknya Luca Guadagnino!! (belum nonton film garapan Luca lainnya sih, tapi ini udah keren parah).
Kalau dipikir-pikir sih cerita romance-nya lebih rasional ya. Oliver yang udah dewasa, jenius pula, kayaknya gak mungkin mau menghabiskan hidupnya sama anak umur 17 tahun yang masih dalam tahap berkembang. Lagian di awal Elio bilang suka, Oliver udah bilang kan kalau mereka berdua gak mungkin bisa. Selain itu juga mungkin karena perbedaan budaya. Di tahun 1983 mungkin Itali lebih welcome sama kaum LGBT, tapi di tahun segitu di Amerika masih tabu kali ya? Makanya si Oliver sempat bilang ke Elio, “You’re so lucky!”, kalau Oliver ketauan nge-gay dia bisa dikirim sama bapaknya ke penjara.

Gaes, postingannya dilanjut besok ya. Udah jam segini nih. Makasih udah mampir, besok kita main lagi ya! *apaansih*
See you~
Timothee Chalamet as Elio



pura-pura baca buku, padahal takut kepergok nyusup ke kamar Oliver


Armie Harmer as Oliver
Armie-Esther (as Marzia)-Timmy


Luca Guadagnino, sang dedengkot di balik layar XD

No comments:

Post a Comment