Perhatian! Bukan untuk dikonsumsi kaum Anti-LGBT garis
keras!
Hay gaes! Di postingan kali ini aku mau semacam me-review *lebih
tepatnya nyepoiler* salah satu film bergenre drama terbaik tahun 2017 kemarin.
Aku gak terlalu suka nonton film sih aselinya, jadi aku gak update tentang
film. Film ini aku tau karena berawal dari ketidaksengajaan nemu foto aktor
utamanya pas aku lagi main ke Pinterest.
Army itu ya, walaupun cuma keliatan hidungnya aja udah ketauan ganteng. Kalau si Timmy, keliatan lubang hidungnya emang udah ganteng. *eh! |
“Call Me by Your
Name”, melihat judulnya aku cukup tertarik, ditambah foto 2 cowo ganteng sebagai
poster filmnya membuat aku berpikir bahwa ini film tentang romansa sesama
sejenis. Fix!! Gak ada alasan lagi buat aku gak nonton film ini. Walaupun musti
via download nontonnya XD
Banyak hal yang menarik perhatianku di film ini. Selain
karena pesona Timothee Chalamet, film ini berlatar tempat di Itali, tahun 1983,
dan… unsur homo-homoan menjadi daya tarik paling kuat bagi aku. Akakakak…
Diadaptasi dari novel karya Andre Aciman tahun 2007 dengan
judul yang sama, film Call Me by Your
Name yang disutradarai Luca Guadagnino
ini menceritakan kisah percintaan antara Elio Perlman (Timothee Chalamet)
seorang anak berusia 17 tahun dengan Oliver (Armie Hammer) mahasiswa berusia 24
tahun. Ini bukan cuma soal percintaan sesama jenis, tapi hetero juga, karena
Elio juga berhubungan sama pacarnya, Marzia (walaupun mereka akhirnya putus),
terus unsur kekeluargaannya juga kentel. Jadi ini semacam pengalaman
seksualitas (atau pencarian?) seorang remaja berusia belasan tahun.
Italy, 1983. Ceritanya, waktu itu lagi liburan musim panas.
Ayahnya Elio, Mr. Perlman yang seorang professor arkeologi, mengundang salah
satu mahasiswanya dari Amerika, Oliver, buat menginap di tempat tinggalnya
selama liburan buat bantuin ayahnya Elio. Oliver menempati kamar yang sebelahan
sama kamarnya Elio. Selama liburan, Elio menghabiskan lebih banyak waktunya
buat main musik sama baca buku. Sesekali main sama pacarnya, cewek, namanya
Marzia.
Dalam cerita itu, Oliver emang sosok yang menarik. Setiap
orang bisa suka sama dia. Udah ganteng, body-nya perfect, jenius, periang,
gampang gaul. Awalnya Elio memandang Oliver sebagai sosok yang arogan, tapi
lama-lama akhirnya demen juga. Mungkin karena mereka keseringan menghabiskan
waktu berdua, dan Elio pasti gak bisa menolak kesempurnaan Oliver. Aaaaakkkk~ OLIVEEEERRRRR!!!
*authornya mabok*
Suatu ketika, Oliver pergi ke kantor pos sama Elio. Saat itu
juga Elio mengatakan tentang perasaannya, tapi Oliver bilang seharusnya dia gak
begitu. “We just can’t”. Abis dari kantor pos mereka istirahat sebentar di bawah
pohon, di rerumputan, dan di sana mereka melakukan ciuman pertamanya. Si
Elionya kayak yang ngebet banget, tapi Oliver gak mau itu berlangsung lebih
jauh. Mereka lalu pulang, terus makan siang sama keluarga. Di tengah makan
siang itu, tau-tau Elio mimisan, terus dia meninggalkan meja makan, nyari es
batu, terus duduk di pojokan. Oliver yang tau hal itu jadi ngerasa gak enak.
Takutnya Elio jadi gimana gitu gara-gara minta lanjut cipokan tapi Olivernya
nolak. Wkwkwk…
Singkat cerita, hubungan Elio sama Oliver jadi makin intim. Di
suatu malam mereka melakukan hubungan seksual (dalam film enggak vulgar sih
kalau menurutku, soalnya yang di-shoot cuma jendela kamar sama pohon). Di
hubungan intim pertama mereka, (ini quote paling ikonik dalam film), Oliver bilang…
“Call me by your name, and I’ll call you
by mine”. Well, itu manis banget!! Lalu mereka saling memanggil satu sama lain
dengan nama masing-masing. Kealayan yang manis, ya kan?
A boy fucks a peach.
Di dalam novel, salah satu bagian paling mengesankan itu waktu Elio masturbasi
(atau bahasa kerennya swasenggama)
menggunakan buah peach. Buah peach ini memang semacam ‘trademark’-nya Call Me
by Your Name. Tadinya, sang sutradara mau ngilangin bagian ini dari film, tapi
kayaknya gak mungkin banget, cuman kalau difilm-in apa gak aneh gitu pikirnya?
Dari interview yang pernah aku baca, Luca Guadagnino sebelum bikin film ini
pernah nyoba sendiri swasenggama pakai peach, dan Luca bilang “it works!!”. Aktor utamanya, si Timmy,
juga nyobain, dan berhasil. Wkwkwkwk… itu aneh, swasenggama pakai buah peach,
tapi mereka berhasil. Dan akhirnya Luca memutuskan buat memasukkan bagian
cerita itu ke film. Aku juga pas pertama baca plotnya ngerasa aneh gitu, emang
bisa ya? Gimana caranya? Terus pas liat filmnya, wah anjir!! XD
Terus, setelah Elio swasenggama pakai peach dan klimaks, dia
ketiduran. Oliver datang nyamperin terus dia tau si Elio abis ngapain. Oliver
tadinya mau makan buah peach yang udah ‘terkontaminasi’ milik Elio, tapi sama
Elionya gak boleh, terus Elio nangis. Besoknya Oliver mau balik ke Amerika, dan
Elio gak mau Oliver pergi. Mungkin kalau buah itu beneran dimakan sama Oliver,
Elio ngerasa lebih susah ngelepas Oliver karena bagian dari dirinya menjadi milik
Oliver. Wah!
Orang tua Elio termasuk orang tua yang terbuka. Mereka tau
hubungan Elio sama Oliver, tapi mereka gak ngelarang Elio. Justru, mereka
pingin buat Elio seneng. Sebelum Oliver benar-benar pulang ke Amerika, orang
tua Elio nyuruh Elio buat menghabiskan waktu selama 3 hari bersama Oliver di
Roma.
Ini budaya Itali yang berbeda dengan budaya Amerika. Lewat
film ini Luca mau ngasih tau bahwa orang tua di Itali itu lebih terbuka sama
hal-hal yang dianggap tabu di Amerika semacam LGBT.
Di cerita itu kejadiannya tahun 1983. Kalau di tempat kita
mah LGBT masih banyak yang musuhin ya, padahal ini udah tahun 2018.
Tibalah waktunya, Oliver harus pulang ke Amerika. Oliver dan
Elio gak mengucapkan satu kata perpisahan pun. Mereka cuma pelukan. Speechless,
tapi emosinya berasa. Sedih bet aku tu nonton scene ini. Abis itu Elio nelpon
emaknya sambil nangis, minta dijemput. Di perjalanan pulang pun Elio masih
nangis. Pas udah nyampe, Elio ketemu sama Marzia. Mereka udah putus sih, tapi
hubungannya tetep baik, mereka jadi teman biasa sekarang. Film ini gak ada
tokoh antagonisnya gaes, yang udah jadi mantan pun masih tetap berteman baik.
Next, ada scene paling menyentuh sebelum ending. Scene di
mana ayahnya Elio, ngajak ngobrol Elio soal perasaannya setelah berpisah sama
Oliver. Scene ini menyentuh banget, ayahnya Elio itu bijak, dialognya di film
sempat jadi viral (seenggaknya di negara luar sana). Selain kata-katanya, cara
penyampaiannya juga ngena banget. Bener-bener adem. Mr.Perlman gak menyudutkan
anaknya karena menyukai sesama jenis, karena yang namanya perasaan itu alami.
Menurut ayahnya, si Elio itu beruntung bisa merasakan pengalaman seperti itu.
Setelah berpisah dari Oliver, Elio merasakan sedih, sakit hati, yaudah biarin
aja, gak usah dilawan perasaan itu. Gitu katanya. Terus ayahnya juga bilang
kalau beliau malah ngerasa iri sama pengalaman Elio yang gak semua orang bisa
ngerasainnya.
Beberapa bulan kemudian, di musim dingin, waktu perayaan
Hanukkah (perayaan di kepercayaan Yahudi tiap bulan Desember), Elio dapet
telepon dari Oliver. Elio bahagia banget bisa denger suara Oliver lagi.
Sayangnya kebahagiaan itu datang bersama kesedihan. Oliver memberi kabar bahwa
sebentar lagi dia akan menikah, sama perempuan pilihannya setelah 2 tahun
mereka berpisah. Orang tua Elio ikut bahagia denger kabar itu, walaupun ikutan
sedih juga karena anak sematawayangnya pasti sakit hati. Cuman ya udah kan, mau
gimana lagi?
Sebelum scene telponan itu berakhir, Elio kembali mengulang
kealayan manisnya sama Oliver, saling memanggil dengan nama masing-masing.
Walaupun awalnya Oliver cuma diem aja, tapi Elio terus memanggil Oliver dengan
namanya sendiri, sampai Oliver membalas panggilannya dan bilang… “I remember
everything”.
Abis telponan, Elio duduk depan perapian, nangis sampai
pilemnya kelar.
Well, ini closing yang manis dan penuh emosi. Selama
beberapa menit, kita cuma disuguhi wajah ganteng Elio dengan air mata dan
ekspresi yang menyiratkan berbagai emosi. Sedih-sedih gak rela tapi gimanaaa ya.
Tapi seperti yang ayahnya bilang, Elio harus bisa terima kenyataan.
Ngeliat ekspresi Elio sambil inget-inget momen
kebersamaannya sama Oliver dan meresapi ceritanya aku jadi kebawa perasaan.
Ditambah lagunya Sufjan Stevens berjudul Visions
of Gideon yang jadi backsong buat ending filmnya. Itu lagunya ngiris-ngiris.
Lirik lagunya ‘Elio banget’ XD
Wkwkwk… btw aku jadi penasaran juga sama soundtrack film ini
yang dibawain Sufjan Stevens.
Dan… oh iya, closingnya cukup unik, dengan judul film yang
baru nongol di ending. Terus sepanjang Elio nangis depan perapian, di
belakangnya terlihat sang ibu dan asistennya sedang sibuk mempersiapkan makan
malam. Ada satu hal yang dari awal cukup menimbulkan pertanyaan. Lalat!!
Kemunculan lalat di beberapa scene film ini seperti menjadi sebuah simbol dalam
cerita. Mulai dari Elio yang bangun pagi terus ngelamun, Elio yang pura-pura
baca buku waktu Mavalda masuk ke kamar Elio, scene di mana Elio dan Oliver
melakukan ciuman pertamanya di bawah pohon, terus muncul lagi di bagian apa ya?
Lupa. Dan terakhir, si lalat masih eksis nampang di ending. Entah gimana
caranya si lalat bisa diajak main film, bisa dengan antengnya nemplok di baju
Elio selama beberapa menit. Oh iya, dan gara-gara itu, aku jadi nyari tau fakta
tentang lalat. Tapi beneran, ini ada hubungannya sama film. Hubungannya apa?
Next post ya! XD
What a great movie!
Ternyata gak sehomo yang aku bayangkan. Walaupun ada adegan
hubungan intimnya, tapi Luca membuatnya terlihat elegan dan gak jorok. Malahan
yang keliatan vulrgar tuh waktu scene Elio sama Marzia (entah kenapa, apa
mentang-mentang sama cewek gitu ya jadi lebih keliatan beneran? –bias gender-).
Jadi ini gak 100% gay, tapi biseksual juga. Terus unsur kekeluargaannya juga
berasa benget, makanya Luca sempat bilang kalau film ini juga bisa dibilang
film keluarga. Beeeh~ keren banget pokoknya Luca Guadagnino!! (belum nonton
film garapan Luca lainnya sih, tapi ini udah keren parah).
Kalau dipikir-pikir sih cerita romance-nya lebih rasional
ya. Oliver yang udah dewasa, jenius pula, kayaknya gak mungkin mau menghabiskan
hidupnya sama anak umur 17 tahun yang masih dalam tahap berkembang. Lagian di
awal Elio bilang suka, Oliver udah bilang kan kalau mereka berdua gak mungkin
bisa. Selain itu juga mungkin karena perbedaan budaya. Di tahun 1983 mungkin
Itali lebih welcome sama kaum LGBT, tapi di tahun segitu di Amerika masih tabu
kali ya? Makanya si Oliver sempat bilang ke Elio, “You’re so lucky!”, kalau
Oliver ketauan nge-gay dia bisa dikirim sama bapaknya ke penjara.
Gaes, postingannya dilanjut besok ya. Udah jam segini nih.
Makasih udah mampir, besok kita main lagi ya! *apaansih*
See you~
Timothee Chalamet as Elio |
pura-pura baca buku, padahal takut kepergok nyusup ke kamar Oliver |
Armie Harmer as Oliver |
Armie-Esther (as Marzia)-Timmy |
Luca Guadagnino, sang dedengkot di balik layar XD |
No comments:
Post a Comment